Pagi ini aku sudah menyelesaikan karya tulisku yang akan aku serahkan ke panitia lomba karya tulis ilmiah di sekolahku. Seperti biasa, aku jalan kaki dari rumah ke selter angkot yang akan membawaku ke terminal kota G tempat sekolahku. Aku gunakan jalan pintas, aku menyeberang jalan di depan rumahku trus masuk pekarangan pak Dwi dan lewat samping rumah pak Dwi kemudian lewat pinggir-pinggir rumah orang kampung Sudagaran. Sekitar 200 meter melangkah aku lihat Ani dakocan (abis mukanya imut-imut kaya boneka) sudah menunggu aku (kalau sempat pengalamanku dengan Ani akan aku tulis nanti). “Pagi can, gimana tidurmu semalam, mimpi tentang aku?” tanyaku setiap pagi saat bertemu akan berangkat sekolah. “Pasti dong, tidurku nyenyak. Setiap malam dan malam ini sama dengan malam kemarin, aku mimpi indah bersamamu,” sahutnya. Dan kami tersenyum kemudian tertawa berdua. Ani, salah seorang sahabatku dari kelas 1 SD. Jadi di antara kami selalu ada kemesraan. Namun kali ini tidak akan aku ceritakan tentang dia. Sesampai di selter sudah banyak teman yang menunggu angkot. Jam 07.05 wib kami sudah sampai di sekolah. Tanpa menyia-nyiakan waktu, setelah aku ambil karya tulisku, tas aku masukkan ke laci mejaku dan aku berlari kecil ke ruang panitia lomba. Di sana sudah ada mbak Marlina, yang cantik (menurutku) yang selalu menunggu karya-karya tulis yang akan diseleksi. “Sudah selesai On, karya tulismu?” tanyanya. “Sudah mbak,” jawabku sambil menyodorkan hasil karya tulisku. Sambil aku menunggu mbak Marlina membaca ringkasan karya tulisku, aku mulai iseng menaksir berapa besar bra yang dipakai. Ah, paling nggak lebih dari 34.
[Komentar Wiro: Banyak lelaki yang salah paham dengan ukuran bra. Angka 34 bukan berarti ukuran buah dada, tapi ukuran lingkar dada. Sedangkan ukuran buah dada ditentukan oleh huruf di belakang angka tersebut (sering disebut ukuran cup). Huruf A untuk buah dada yang terkecil (sekepalan tangan anak SLTP), menyusul kemudian B (telapak tangan hampir sulit menutupi seluruh permukaannya), dan C paling besar (sebesar buah kelapa, ha ha ha). Contoh: Buah dada wanita yang menggunakan BH berukuran 34A lebih kecil daripada buah dada wanita yang menggunakan ukuran BH 34B.]
“Apanya On yang tiga empat?” Wah gawat nih. Tanpa sadar aku terloncat kata sambil membayangkan nomor bra. “Enggak, enggak mbak, saya cuma mau bilang pada hitungan ke empat saya mau kembali ke kelas kalau tidak ada yang mesti saya tunggu.” “Oh, gitu.” Aku ngeloyor pergi. Belum lima langkah aku menjauh mbak Marlina memanggil. “On, On, kemari dulu.” “Ada apa mbak?” tanyaku. “Karya tulismu mustinya diketik, jangan pake tulisan tangan kayak begini. Kacau deh nanti kalau juri mau kasih nilai. Mana tulisan kamu kayak sandi rumput”. [Wiro: Gue ingat waktu Pramuka dulu gue harus ngapalin Morse supaya bisa baca sandi rumput. Hm, masa kecil yang indah.] Wah, alamat aku nggak keburu nih ikutan lomba, padahal waktu tinggal 2 minggu lagi. Aku kan nggak bisa ngetik, trus ke mana akan aku ketikkan karya tulis ini. Pulang sambil terus muter kapala, di mana aku harus ngetik, siapa yang harus aku mintai tolong. “Dik, jalan kok sambil melamun.” “Eh, maaf mbak Nunik saya nggak liat, maaf ya mbak. Oon numpang lewat ya mbak,” kataku gugup karena biasanya aku lewat nggak pernah ada orang di pintu samping. “Tunggu dik Oon.” Aku menghentikan langkahku. “Sini dulu dong.” “Ya, mbak.” “Apa yang dik Oon lamunin sih, kayaknya serius banget sampe-sampe mbak ada di pintu nggak lihat,” tanyanya. “Anu mbak, saya lagi bingung. Karya tulisku harus diketik sedang aku kan nggak bisa ngetik.” “Gini aja deh, nanti malam mbak tunggu karya tulisnya.” “Terima kasih mbak.” Aku nggak berani kasih sekarang, kan nggak etis, kan dia menawarkannya nanti malam.
***
Jam 8 malam aku bawa karya tulisku ke seberang jalan, ke rumah pak Dwi. “Siapa?” terdengan suara mbak Nunik dari dalam setelah pintu aku ketuk 3 kali. “Saya mbak,” jawabku. “Masuk aja dik, pintunya nggak dikunci. Duduk dulu ya dik.” Ternyata mbak Nunik masih di rumah dalam. Aku masuk kemudian duduk. Rumah ini rumah kuno yang dari kecil aku nggak berani masuk rumah ini sendirian. Abis kata orang rumah ini angker. Bulu kudukku meremang berdiri, Dingin juga dalam rumah ini. Serem. Kenapa kok orang-orang ini betah tinggal di sini, padahal sejak anak beranak yang punya rumah ini meninggal, rumah ini lama sekali tak berpenghuni. Kalau malam aku nggak berani lewat samping rumahnya, padahal ada lampu. Apalagi di dalam rumah sendirian, bisa mati berdiri. “Kok ngelamun lagi?” Jantungku seakan berhenti berdenyut karena rasa kagetku diperparah dengan pakaian yang mbak Nunik kenakan, baju terusan putih denga garis hitam tipis membujur. “Kok bengong? Kaget ya, atau mbak menakutkan?” lanjutnya. “Sedikit kaget mbak,” jawabku nggak berani menatap mukanya. Aku takut tidak sedang berhadapan dengan mbak Nunik. “Kok nunduk. Mana karya tulisnya?” “Ini mbak.” Barulah aku mendongak. Aku terpana sesaat. Ternyata bedanya mbak Nunik dengan kakaknya hanya warna kulitnya saja. Mbak Nunik tidak secoklat ibu Ning. “Oke deh, mbak janji dalam waktu satu minggu karya tulismu selesai.” Dia berjanji menyelesaikan, setelah aku bacakan karya tulisku dan kapan aku musti harus mengumpulkannya. “Saya pulang dulu mbak.” “Malam Minggu kok pulang cepet-cepet, baru jam sembilan.” “Kanthong udah nunggu di teras buat main gitar.”
***
“On, pernah ngintip orang lagi kuda-kudaan belon?” tanya si Rully Kanthong Nerre sambil sejenak dia berhenti memetik gitarnya. Aku bukannya suci tapi kalau ngintip orang lagi begituan, aku takut kalau ketahuan. Lebih-lebih aku takut kalau aku malah kepingin. Trus nanti bagaimana, sedang aku ingin menjaga perjakaku sampai lulus sekolahku. “On, denger nggak?” desaknya. Aku diam. “On, aku doain kupingmu torek seumur umur.” “Eh, aku denger thong!” “Nah gitu dong. Diajak ngomong kok cuma diem, sentil-sentil gitar mulu.” Mungkin dia sebel kali. “Iya emang siapa yang main, kok kamu intip?” “Pak Dwi sama adik iparnya.” “hah! yang bener Thong.” “Kau sudah lihat pak Dwi pulang saat kau di sana?” “Sudah ada di rumah kok.” “Bu Dwi kan siang tadi pulang ke Yogya sama Genduk dan si kecil, nah pasti malam ini kita punya malam Minggu yang panjang, sambil nonton live show. Jam berapa sekarang?” Kacau juga nih Kanthong sohibku. “Jam setengah sepuluh.” “Wah, pertunjukan pasti sudah dimulai.” Kami berkemas, kemudian berangkat ‘berburu’, istilah baru yang aku dapat dari sohib, senjata yang dia bawa 2 buah jarum kasur. “Jangan berisik, jangan nafsu, jangan …” “Sudah, mau berangkat apa tidak?” “Olesin bagian badanmu yang terbuka dengan remasan daun ini, untuk mengusir nyamuk yang suka ngeganggu orang lagi asik,” dia nyerocos terus. Sesampai di samping rumah pak Dwi (bukan yang biasa aku lewati), tepat di bawah jendela kamar tengah Aku dan Kanthong menaruh potongan kayu nangka yang diambil dari belakang rumah yang biasa dipakai duduk-duduk keluarga Dwi di sore hari. Kanthong menusukkan jarum kasur yang dia bawa ke daun jendela kemudian menariknya. Ternyata seberkas cahaya lampu menerobos ke luar. Dia berikan isarat untuk memegang jarum dan sesuatu yang terbawa, kemudian dia mengambil jarum yang lain dan melakukan hal yang sama. Tanpa dikomando lagi aku dan dia melihat lewat celah yang ada di depan mata kami.
***